Cerpen Pendidikan Remaja Indonesia
Cerpen Pendidikan Remaja Indonesia
– Dalam karya sastra cerpen, selain mampu menghibur kita sebagai
pembacanya. Ternyata ada juga cerita-cerita dalam cerpen yang mengandung
nilai edukasi atau pendidikan yang tinggi. Cerpen jenis inilah yang
selalu menjadi bahan ajar ketika kita belajar di sekolah dalam mata
pelajaran bahasa atau sastra indonesia. Selain mengutamakan sisi positif
yang tinggi, pada cerpen pendidikan juga memiliki banyak sekali
teka-teki yang sangat asyik untuk dipecahkan. Hal itulah yang menjadikan
cerpen pendidikan begitu menarik untuk kita semua.
 |
Cerpen Pendidikan |
Cerpen Pendidikan
merupakan salah satu jenis cerpen yang tidak memiliki sangkut paut
dengan percintaan namun lebih pada persahabatan dan kehidupan yang rukun
antar umat manusia. Selain itu, pokok utama dari cerpen pendidikan
adalah hikmah yang ada di dalamnya dimana pada kesimpulan cerpen ini
selalu menguak satu sisi positif seperti Nasihat, Ajaran maupun semua
hal yang bersifat membangun dan jauh dari kata negatif. dengan
spesifikasi yang sedemikian sulitnya, membuat Cerpen ini juga sangat
sulit untuk kita temukan. Rata-rata pengarang cerpen ini hanyalah mereka
yang benar-benar sangat cinta dunia sastra ataupun mereka yang peduli
dengan kemajuan bangsa indonesia ini. Oleh karena itu sebagai generasi
muda yang sangat diharapkan oleh bangsa ini, maka kita seharusnya juga
lebih memprioritaskan prestasi kita ketimbang kebahagiaan semata.
Memahami begitu pentingnya Cerpen pendidikan ini untuk kita, maka dari
itu pada kesempatan kali ini blog
Ferady aziska
akan berikan sebuah cerpen tentang memiliki nilai pendidikan yang
pastinya sangat seru ceritanya. Bagi yang penasaran maka langsung saja
baca ceritanya dibawah ini.
Bising suara tak jua berhenti menemani
hari kelamku. Aku seakan membisu dalam keramaian kota tersebut. 500
rupiah, 1000 rupiah.. ah, aku tidak bisa mengharap banyak hanya dengan
memelas dan menyanyi tak karuan. Memang malu rasanya, saat melihat
anak-anak sebayaku pergi bersekolah dengan rajinnya. Aku ingin sekali
melanjutkan pendidikanku, seperti yang lainnya. Tapi, harapan tinggalah
harapan. Meskipun cita-citaku setinggi langit, tapi biaya tak ada? Yah,
mau bagaimana lagi? Emak sakit TBC akut dan sudah tidak kuat lagi
mencari kayu bakar di hutan. Abah? Abah pergi entah ke mana sejak aku
berusia 5 tahun.
“Nin! Dapat berapa hari ini?” tanya Dea, teman mengamenku.
“Tidak banyak, De. Cuma dapat 10 ribu, apa cukup buat beli obat Emak? Padahal.. sudah dari tadi pagi kita mengamen.” kataku.
“Alhamdulillah,
Nin. Aku dapat 20 ribu, 10 ribunya untukmu, ya! Emakmu harus cepat
sembuh.. Ini ambilah!” kata Dea, dengan senyum manisnya.
“Tidak ah De, keluargamu bagaimana?” tanyaku sungkan.
“Aku
masih ada cukup uang di celenganku. Lagipula, persediaan nasi di rumah
juga masih ada, kok Nin!” jawab Dea. “Kamu juga sudah banyak
menolongku.” lanjutnya.
Aku tercengang mendengar perkataan Dea. “Apa kamu yakin, De?” tanyaku.
“Tentu!
Cepat ke apotek, kasihan Emak. Sebentar lagi sudah larut, lho. Aku juga
mau pulang.” kata Dea, sambil menyerahkan uang kepada ku.
“Terimakasih, De. Insyaallah aku akan menggantinya secepat mungkin.” kataku sambil berlari meninggalkan Dea, menuju apotek.
Sesampainya
di apotek, aku segera menanyakan obat untuk Emak. Ternyata, harga obat
tersebut Rp. 18.000. Berarti, tidak cukup untuk membeli beras. Aduh,
besok pagi Emak makan apa? Nanti.. Emak tambah sakit karena nggak makan.
Aku melongo sendiri, dan membuat Apotekernya kesal.
“Jadi beli atau enggak?” kata Apoteker.
“I.. Iya.” kataku sambil menyerahkan uang. Seusai beli, aku pun segera kembali ke rumah.
“Huh,
apa semua orang kaya kasar seperti itu?” gumamku dalam hati. “Emak..
Emak.. ini Nina belikan obat. Emak harus minum obatnya, biar lekas
sembuh.” kataku.
“Terimakasih, Nak.” kata Emak, yang terus batuk tiada henti. Emak ingin sekali membantumu bekerja. “lanjut Emak.
“Sudahlah,
Mak. Biar Nina saja yang bekerja. Emak hanya perlu istirahat.” kataku,
sambil memijat kaki Emak. “Sekarang, Emak tidur, ya! Sudah malam.”
kataku sambil menyelimuti Emak dengan selimutku.
Akupun segera
menuju kamar kecil kumuhku. Aku hanya dapat memandangi langit-langit
kamarku yang bocor. Jujur saja, aku tidak dapat tertidur lelap dengan
mudahnya. Kalau tidak bisa tidur, aku selalu membaca buku gratis yang
aku pinjam dari Perpustakaan kecil di dekat rumahku, atau menulis puisi.
Ya, dengan penerangan sederhana dari lampu minyak. Emak belum sanggup
untuk membayar listrik.
Keesokan harinya, aku segera pamit ke
Emak untuk bekerja. Aku pun mulai mengamen bersama Dea, seperti
biasanya. Hasil mengamen juga sedikit seperti biasanya. “Aku ingin
sekali bersekolah, aku tidak mau selamanya mengamen..” gumamku.
“Aku
juga, Nin! Bagaimana, kalau kita pergi ke SMP di sana? Kita kan bisa
ikut mendengarkan dari luar.” ajak Dea. Aku pun mengangguk. Ya, sejak
hari tu, aku dan Dea selalu menyempatkan waktu untuk bersekolah
“diam-diam”. Tentunya dengan rasa takut diusir oleh Pak Satpamnya, hehe.
Suatu
hari, aku bertemu dengan seorang perempuan bernama Melline. Perempuan
itu ramah sekali, dan mengajakku dan Dea berteman. Melline selalu
meminjamkan buku pelajaran kepadaku, juga Dea. Melline juga selalu
belajar bersama kami di waktu istirahat. Aku senang sekali, bisa terus
mencari ilmu sambil bekerja untuk Emak.
“Nina.. Dea.. Apa kalian tidak bersekolah? Kalian anak yang cerdas, sayang sekali kalau tidak bersekolah.” kata Melline.
“Aku
putus sekolah sejak kelas 6 SD, bersama Dea. Ibuku tak punya cukup
biaya untuk sekolahku. “kataku sedih.” Jangan khawatir! Kalian pasti
bisa bersekolah di sini sesegera mungkin. “kata Melline.
Esoknya, ada
beberapa orang berseragam PNS mendatangi rumahku. “Permisi, Pak. Ada
yang bisa saya bantu?” kataku dengan sedikit takut.
“Kamu benar Nak Nina?” tanya Bapak tersebut dengan halus. “Iya, Pak. Saya Nina.” jawabku heran.
“Begini,
Bapak dengar dari putra bapak, Melline, bahwa kamu dan temanmu Dea,
sangat ingin bersekolah. Apa itu benar, Nak?” tanya Bapak tadi.
“Benar, Pak, tapi Saya tidak mampu untuk membayar biaya sekolah.” kataku.
“Baiklah,
Bapak di sini, selaku Kepala Sekolah SMPN Citra Bangsa akan menyalurkan
bantuan bersekolah untukmu. Asalkan, kamu harus berjanji untuk dapat
memanfaatkannya dengan baik.” kata Bapak itu.
Aku girang bukan
kepalang. Tak henti-hentinya aku mengucap terimakasih kepada Bapak
tersebut. Sejak hari itu, aku dan Dea kembali bersekolah. Aku juga tidak
lagi mengamen dan meminta-minta. Pihak sekolah sudah memberikan bantuan
kepada Emak untuk berobat tiap bulannya, juga Dea. Aku menjadi semakin
yakin, bahwa baik buruknya takdir seseorang, ditentukan oleh kekuatan
tekad untuk meraih cita-cita mulia masing-masing.
Itulah diatas
Cerpen Pendidikan
yang semoga saja mampu membuat kita jadi lebih baik dan lebih berguna
bagi bangsa Indonesia. Tanpa adanya pendidikan yang baik, tentu saja
negara ini tidak akan bisa maju. Oleh karena itu kita sebagai generasi
muda harus lebih aktif dalam berbagai hal terutama yang berbau positif.
Meskipun pada kenyataannya saat ini lebih banyak remaja yang mengarah ke
hal-hal negatif. Namun bagi kita yang sadar akan masa depan, pastinya
akan memilih jalan terbaik yakni dengan memberikan segala kemampuan
berfikir kita bagi bangsa Indonesia ini.